Forensick

Forensick

Tuesday, October 23, 2012

WARGA NEGARA DAN NEGARA



PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA
UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA

                                    Holiday Resort Lombok, 28 - 31 Mei 2012
MAKALAH

         HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN WARGA NEGARA
Oleh:
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto


HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN WARGA NEGARA
Sebuah Telaah Dari Perspektif Hak-Hak Asasi Manusia Warganegara
Dalam Ranah Kehidupan Mereka Bernegara Bangsa

Sebuah risalah ringkas
dimaksudkan sebagai bahan rujukan ceramah dan diskusi
pada acara
Pelatihan “Peningkatan Kapasitas Hakim Mengenai HAM”
diselenggarakan oleh PUSHAM-UII dan Komisi Yudisial RI
di pantai Senggigi Lombok 28 Mei 2012
di Yogyakarta 11 Juni 2012

Soetandyo Wignjosoebroto

Membicarakan hubungan antara negara dan warga masyarakat dalam
kehidupan bernegara bangsa pada hakikatnya adalah membicarakan suatu hubungan
kekuasaan, ialah antara yang berkekuasaan (pemerintah pengemban kekuasaan
negara) dan yang dikuasai (warga masyarakat yang kini berstatus sebagai
warganegara). Dalam banyak pembicaraan, ‘negara’ -- yang terpersonifikasi dalam
rupa para pejabat penyelenggara kekuasaan negara (yang lebih populer disebut
‘pemerintah’, baik yang berkedudukan dalam jajaran yang sipil maupun yang
berstatus militer – itulah yang sering diidentifikasi sebagai sang penguasa. Sementara
itu, yang seringkali hendak diidentifikasi sebagai pihak yang dikuasai tidaklah lain
daripada si ‘masyarakat’, atau tepatnya para ‘warga masyarakat’ (yang dalam banyak
perbincangan sehari-hari disebut ‘rakyat’). Hubungan akan disebut demokratik
apabila kebebasan warga masyarakat akan lebih dominan daripada kekuasaan para
pejabat pengemban kekuasaan negara, sedangkan hubungan akan disebut totaliter
apabila kekuasaan di tangan para pejabat pengemban kekuasaan negara tersimak lebih
dominan daripada kebebasan warga masyarakat, (yang dalam kapasitasnya sebagai
aktor politik disebut ‘warga negara’)..
Mengkonsepkan negara casu quo para pejabatnya sebagai pihak yang
berkekuasaan, dan mengkonsepkan warga masyarakat sebagai pihak yang berstatus
dikuasai, memang tak dapat disalahkan begitu saja. Berabad-abad lamanya di
manapun di seantero bumi ini kenyataan sejarah memang tersimak dan tercatat seperti
itu, yang lebih memenuhi model hubungan yang totaliter daripada model hubungan
yang demokratik. Dalam konsepnya yang klasik, para penguasa selalu mengklaim
dirinya sebagai makhluk-makhluk khusus yang memperoleh kekuasaannya dari
sumber-sumber kekuasaan yang supranatural. Akan tetapi perubahan konsep yang
berlangsung sepanjang sejarah perkembangan pemikiran dan praktik politik di negerinegeri
Barat (tepatnya ‘negeri-negeri yang dulu terbilang kawasan Katolik Barat’),
berhasil membalikkan konsep itu.

Sudah pada pada awal abad 19, ialah seusainya perang-perang Eropa yang
dikobarkan oleh Napoleon pada peraliahan abad, di negeri-negeri Barat – yang
kemudian disusul juga di negeri-negeri koloninya – konsep baru tentang hubungan
kekuasaan antara (para pejabat) negara dan (warga) masyarakatnya mulai dicoba
dipraktikkan. Inilah konsep baru dalam budaya politik yang dikenal – atau
diperkenalkan kembali – di Amerika dan Perancis, ialah demokrasi yang bertandem
dengan konsep komplementernya tentang eksistensi kodrati manusia sebagai
penyandang hak-hak yang paling asasi. Hak-hak asasi ini dipahamkan sebagai
seperangkat hak yang melekat secara kodrati pada diri setiap makhluk yang bersosok
manusia, dan a contrario bukan sekali-kali berasal dari pemberian para penguasa
manapun.
Konsep demokrasi -- yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos)
itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein) – berkonsekuensi
logis pada konsep bahwa sejak dalam statusnya yang di alam kodrati, sampaipun ke
statusnya sebagai warga negara, manusia-manusia itu memiliki hak-hak yang karena
sifatnya yang asasi tidak akan mungkin diambil-alih, diingkari dan/atau dilanggar
(inalienable, inderogable, inviolable) oleh sesiapapun yang tengah berkuasa. Bahkan,
para penguasa itulah yang harus dipandang sebagai pejabat-pejabat yang memperoleh
kekuasaannya yang sah karena mandat para warga negara melalui suatu kontrak
publik, suatu perjanjian luhur bangsa yang seluruh substansi kontraktualnya akan
diwujudkan dalam bentuk konstitusi.
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang modern, tak pelak lagi yang
umumnya hendak diturut di dalam ihwal hubungan kekuasaan antara negara dan
masyarakat bukan lagi model klasik-otokratik (yang nyatanya telah kian kehilangan
kepopulerannya) itu. Alih-alih, sepanjang sejarah dalam dua abad terakhir ini
hubungan itu kian digeserkan ke model yang demokratik, dengan keyakinan bahwa
bukan kekuasaan negara itu yang bersifat kodrati, melainkan hak-hak manusia
individual warga negara itulah yang asasi dan asali.. Adalah proposisi paradigmatic
model demokratik ini bahwasanya seluruh kekuasaan para pejabat negara itu adalah
dan hanyalah derivat saja dari hak-hak asasi manusia warganya, yang oleh sebab itu
haruslah diterima sebagai sesuatu yang limitatif sifatnya.

Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) : Sebuah Konsep Sine Qua Non Tentang
Hak-Hak Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara Yang Demokratik
Hak-hak asasi manusia (HAM) -- atau sebenarnya tepatnya harus disebut
dengan istilah 'hak-hak manusia' (human rights) begitu saja -- adalah hak-hak yang
(seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia
karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan
‘universal’ karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap
sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, kohort usianya,
latarbelakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara
itu dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang
manusia berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian
oleh suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ itu pulalah
maka pada dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.

Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan –
secara moral maupun demi hukum -- kepada setiap manusia untuk menikmati
kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan
atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara
layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Berabad-abad lamanya manusia
dalam jumlah massal hidup dalam keadaan tak diakui hak-haknya yang asasi sebagai
makhluk yang bermartabat. Jutaan manusia sepanjang perjalanan sejarah yang
panjang tercaatat hidup dalam kedudukan yang rendah sebagai ulur-ulur atau hambahamba
sahaya, yang hidup dalam genggaman kekuasaan para elit yang berkekuasaan,
yang tak jarang bisa dikorbankan. Banyak pula yang bahkan harus hidup sebagai
budak-budak tawanan yang dapat diperjualbelikan oleh "para Gusti" yang mengklaim
kekuasaannya sebagai kekuasaan yang berlegitimasi supranatural. Dalam keadaan
seperti itu, berabad-abad lamanya manusia di banyak negeri, dalam jumlah massal,
harus hidup dalam kondisi yang amat tak bermartabat, tidak mempunyai harta milik
sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya
sendiri.
Telah sejelas itu konsep dasar mengenai apa yang pada asasnya harus
dimaksudkan dengan hak-hak manusia yang asasi serta apa pula yang mesti
dimaksudkan dengan pengingkaran dan pelanggarannya, ternyata tak sejelas itu
definisi mengenai batas-batas ruang lingkupnya. Wacana mengenai batas-batas ruang
lingkupnya sampaipun kini masih terus berlangsung, seiring sejalan dengan
perkembangan kehidupan manusia itu sendiri dalam kebutuhannya yang tak kunjung
berakhir untuk memperoleh imbangan yang jelas, namun juga luwes, antara
kekuasaan atau kewenangan para pengelola pemerintahan dan kebebasan rakyat atau
warga yang mengklaim dirinya sebagai sumber kedaulatan. Wacana menghasilkan
berbagai kategori hak, baik menurut bidang substantifnya (seperti hak kebebasan
warga dan hak untuk berpolitik, yang kedua-duanya terbilang hak-hak yang klasik
dari generasi pertama, dan hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, yang ketiganya
terbilang hak-hak dari generasi kedua), maupun menurut kriteria kaum pengembannya
(seperti misalanya hak-hak perempuan, hak-hak anak, hak-hak kaum minoritas
dan/atau hak-hak penderita cacat).
Sementara itu, wacana juga berkembang berkenaan dengan apa yang harus
dipahamkan bersama mengenai peran dan batas-batas peran serta kewenangan negara
di hadapan hak-hak asasi rakyatnya. Di tengah eforia pengakuan akan sakralnya hakhak
sipil warga mengenai kebebasannya dan hak-hak mereka untuk secara bebas pula
berpartisipasi dalam setiap proses politik, kewenangan para pejabat negara dalam
pengawasan ketertiban kehidupan dikonstitusikan dalam jumlahnya yang minimum,
sedangkan hak kebebasan wangsa dijaga pada tarafnya yang maksimum. Namun,
dalam perkembangannya yang kemudian, tatkala hak-hak warga untuk berkebebasan
dan berpolitik ternyata tidak menjamin terwujudnya hak-hak di bidang ekonomi,
sosial dan budaya, kewenangan negara untuk lebih bertindak proaktif menjadi bisa
diterima. Kalaupun tetap harus hands-off dalam persoalan menjaga hak kebebasan
dan hak berpolitik para warga negara, negara kini bisa bekerja dengan kewenangan
yang bisa dibenarkan untuk bertindak proaktif guna menciptakan situasi yang lebih
kondusif bagi setiap manusia di bumi ini untuk berupaya merealisasi hak-haknya
yang asasi, demi kesejahteraan hidupnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya, baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.

Perkembangan Dalam Sejarah Tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan:
Batas Kekuasaan Raja di Hadapan Para Bangsawan
Apa yang disebut hak-hak asasi manusia ini adalah sebuah konsep yang
mempunyai riwayat lama yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam -- dan
merupakan bagian dari -- sejarah sosial-politik bangsa-bangsa dunia. Kalaupun kini
ini konsep dan masalah hak-hak asasi manusia tersebut telah merupakan wacana dan
isu global, haruslah dibenarkan bahwa menilik riwayatnya konsep ini berkecambah
dan berkembang pada awal-mulanya di negeri-negeri Barat. Pada awalnya, yang
dipersoalkan adalah batas-batas kekuasaan para raja dan para ulama gereja yang
masing-masing mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan segala titahtitahnya
bersifat universal, mengikat sesiapapun namun tak pernah akan mengikat
dirinya sendiri. Konflik memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam penataan tertib
dunia ini terjadi antara Paus Gregorius VII dan Kaisar Heinrich IV dari Sachsen (yang
berakhir pada tahun 1122), yang dalam riwayatnya melahirkan untuk pertama kalinya
konsep the rule of law untuk menggantikan the rule of man (kalaupun yang namanya
the man ini adalah paus atau kaisar)..
Dalam konsep rule of law -- yang memberikan status tertinggi kepada segala
bentuk hukum yang dihasilkan oleh kesepakatan (the supreme lawstate) antar-pihak –
ini tak seorangpun boleh mengingkari berlakunya hukum yang terlahir dari perjanjian
dan kesepakatan pihak-pihak. Setinggi apapun kedudukannya dan sebesar apapun
kekuasaannya, para pihak yang telah menyepakatkan berlakunya hukum tidaklah lagi
punya kuasa untuk mengingkari berlakunya hukum yang semula telah disepakati itu.
Di sini sang pembentuk atau pembuat hukum akan terikat oleh hukum yang telah ia
buatnya itu. Maka, dalam konsep, hukum lalu seperti mempunyai kehidupannya
sendiri, terobjektivisasi dan kemudian daripada itu juga tidak lagi berada di ranah
subjektivitas para pembuatnya. Dikisahkan dari sejarah masa itu, untuk mengakhiri
konflik-konfliknya, Paus dan Raja -- yang telah mensepakatkan ruang lingkup
yurisdiksi masing-masing (ialah antara mana yang terbilang hukum gereja dan mana
yang terbilang hukum raja) -- tidaklah lagi dapat berbuat semaunya untuk mengubahubah
begitu saja aturan-aturan yang telah dibuatnya. Sekalipun aturan yang ia buat
dan akan ubah itu termasuk dalam yurisdiksinya, tidaklah Paus itu bebas membuat
perubahan tanpa persetujuan pihak Raja. Demikian sebaliknya.
Konsep law sebagai hasil kesepakatan -- yang serta merta lalu berstatus
(>state, staat) supremasi -- ini terwujud kembali untuk menyelesaikan konflik
kekuasaan, kali ini antara Raja John I dari Inggris dengan para baron yang beraliansi.
Kesepakatan dicapai di Runnymede pada tahun 1215, yang hasil-hasilnya dituangkan
ke dalam suatu piagam atau charter yang di namakan Magna Carta yang di kemudian
hari dibilangkan sebagai suatu konstitusi yang berfungsi membatasi kekuasaan Raja.
Magna Carta lahir karena desakan para bangsawan terhadap Raja yang di satu pihak
secara semaunya menariki pajak dan di lain pihak mengucilkan para bangsawan ini
dari kemungkinannya ikut serta dalam pemerintahan. Lebih lanjut, Magna Carta ini
juga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak feodal para baron, dan pula menjamin
dihormati dan dilindunginya kelestarian berbagai hak, tidak hanya yang tegak atas
dasar tradisi gereja akan tetapi juga yang berlaku sebagai tradisi para freemen yang
berstatus sebagai warga kota (citesein> citizen).

Kalaupun mempunyai riwayat sebagai hasil tindakan kaum konservatif untuk
melindungi hak-hak feodal, namun -- karena juga memuat apa yang disebut habeas
corpus (ialah aturan yang melarang penahanan tanpa batas) dan peradilan juri –
Magna Carta ini kini ini telah diakui sebagai pendahulu yang merintiskan dibukanya
jalan sejarah menuju apa yang kini disebut konstitusi. Ialah terlembagakannya suatu
undang-undang yang secara mendasar dikonfigurasi berdasarakan prinsip bahwa
kekuasaan pengemban kekuasaan negara itu sungguh terbatas karena harus selalu
dikontrol oleh rakyat yang berdaulat dan yang karena itu juga merupakan subjeksubjek
pengemban hak-hak manusia yang asasi. Itulah hak-hak kodrat yang – karena
melekat pada kelahiran sebagai manusia (inborn) dan sifatnya yang sudah jadi sejak
semula secara alami (natural) -- tidaklahj akan bisa dicabut (inderogable) atau untuk
dialihkan (inalienable) kepada sesiapapun yang berkekuasaan dan, sekalipun bisa
dibatasi tetapi tidak akan bisa dikurangi oleh sesiapapun

Perkembangan Dalam Sejarah Tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan:
Pembatasan Kekuasaan Para Penguasa di Hadapan Manusia WargaNegara
Kalaupun kini ini konsep dan masalah hak-hak manusia yang asasi itu telah
berkenaan dengan berbagai kepentingan dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang
umum maupun yang dirasakan khusus oleh kaum tertentu, pada awal
perkembangannya konsep dasarnya dibataskan pada hak-hak yang berkenaan dengan
kebebasannya sebagai warga negara. Di sini, pada awal perkembangannya, apa yang
disebut hak-hak asasi manusia itu merupakan produk pergulatan pemikiran dan
perubahan-perubahan yang ditimbulkannya dalam perikehidupan sosial-politik.
Konsep mengenai hak-hak manusia ini benar-benar merefleksikan dinamika sosialpolitik
dalam ihwal hubungan antara suatu institusi kekuasaan dan para subjek yang
dikuasai. Inilah konsep yang mulai lantang mempertanyakan hak-hak manusia --
dalam kedudukan mereka yang terkini sebagai warga negara -- di hadapan kekuasaan
negara dan para pejabatnya.
Ide dan konsep hak-hak manusia seperti ini lahir dan berkembang marak
tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang berpikiran cerah pada suatu zaman –
khususnya sepanjang belahan akhir abad 18 -- mulai mempertanyakan keabsahan
kekuasaan para monarkh yang absolut berikut wawasan tradisionalnya yang amat
diskriminatif dan memperbudak. Tatkala di negeri-negeri Barat -- secara suksesif
akan tetapi juga berdaya akumulatif -- gagasan-gagasan baru itu mulai berpengaruh
luas, gerakan revolusioner untuk merealisasi cita-cita kebebasan dan egalitarianisme
(demi ketahanan dan kemakmuran bangsa!) menjadi tak dapat ditahan-tahan lagi.
Komunitas-komunitas warga sebangsa, diorganisasi dalam wujud institusi politik baru
yang memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik, lahir secara
berturut-turut di benua Amerika (Negara Federal Amerika Serikat, 1776!) dan di
benua Eropa (Negara Republik Perancis, 1789). Inilah dua revolusi yang menjadikan
ide demokrasi (yang di tangan sang pencipta istilah, ialah Plato, dipandang model
pemerintahan yang buruk!) sejak masa itu menjadi ide yang lebih terpilih dan populer.
Inilah revolusi yang dimaksudkan untuk membangun komunitas-komunitas politik
nasional yang modern, dengan para warganya yang memperoleh jaminan untuk
dilindungi hak-haknya yang asasi sebagai warga negara.

Ide dan konsep yang marak dan terus berkembang sebagai tradisi ketatanegaraan
baru di negeri-negeri Barat ini merupakan reaksi atas praktik absolutisme
yang tak tertahankan pada abad 17-18. Bersamaan dengan perkembangan negara
bangsa yang teritorial dan mulai sekular itu, berkembanglah perlawanan terhadap
pemikiran klasik yang menyatakan bahwa kemutlakan kekuasaan negara -- yang juga
kekuasaan raja -- itu merupakan refleksi kemutlakan kekuasaan Tuhan. Perlawanan
bertolak dari keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke
kedaulatan rakyat, dan tidak laangsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan
manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja yang
pandai berkilah bahwa titah-titah mereka merupakan representasi kehendak Tuhan.
Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk menuntut
pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak yang kodrati, atas
dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox
populi, vox Dei .....
Di sinilah bermulanya pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di
satu pihak dan luasnya hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam
pemikiran baru ini, kuasa raja atau kepala-kepala negara beserta aparatnya itu kini
tidak lagi boleh dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu
juga tak terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi
oleh dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat. Kekuasaan negara di tangan
penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi dikonsepkan sebagai kekuasaan yang
berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar perjanjian denganNya, entah itu Perjanjian Lama
entah itu Perjanjian Baru. Demikian inilah yang diteorikan oleh para pemikir
ketatanegaraan pada masa itu, antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du
Contrat Social pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar
pembenar moral falsafati bahwa rakyat -- yang bukan lagi kawula, melainkan warga -
- itu, lewat proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju
untuk membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasuskasus
tertentun demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan pada
waktu tertentu untuk urusan tertentu.

Konstitusi, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia
Berangkat dari konsep carta/carter sebagai tolok normatif pembatasan
kekuasaan raja, konstitusi terkembang pada awal perkembangan kehidupan bernegara
bangsa sebagai “perjanjian luhur” suatu bangsa untuk membangun suatu struktur atau
tatanan kehidupan bernegara, di mana kewenangan didistribusikan dan luas-sempitnya
kebebasan warga di hadapan kekuasaan para pengemban kekuasaan negara
didefinisikan. Dalam wacana konstitusional, kebebasan sebagai hak yang asasi dan
kewenangan sebagai kekuasaan memerintah yang telah berlegitimasi akan dipandang
sebagai fungsi yang akan saling melengkapi secara timbal-balik. Kekuasaan yang
dibenarkan oleh hukum – nota bene oleh hukum, yang terbentuk sebagai hasil
kesepakatan legislatif antara para wakil rakyat -- secara konstitusional haruslah
dikategorikan sebagai kewenangan. Hubungan fungsional antara kewenangan dan
kebebasan akan tampak dalam hubungan berikut ini. Ialah bahwa kian besar kewenangan
para pejabat pengemban kekuasaan negara akan berarti kian mengecilnya
ruang kebebasan warga; dan sebaliknya, kian kecil kewenangan yang diberikan
kepada para pejabat penyelenggaran kekuasaan negara ini akan kian luaslah ruang

kebebasan para warga. Tarik ulur antara membesar-mengecilnya ruang kebebasan vis
a vis ruang kekuasaan adalah suatu dinamika yang tak ada habis-habisnya dalam
kehidupan politik, di dalam kehidupan yang demokratik sekalipun.
Dalam kajian-kajian lanjutan, apa yang disebut ‘konstitusi’ itu sesungguhnya
bukanlah cuma harus dimengerti sebagai keseluruhan ketentuan perundang-undangan
yang secara fundamental menggariskan norma-norma positif yang berkenaan dengan
sifat, fungsi dan batas-batas kewenangan dan/atau batas-batas kebebasan warga.
Menurut konsepnya yang formal, konstitusi memang dapat didefinisikan sebagai
sejumlah ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang disusun secara sistematik
untuk menata pada pokoknya struktur dan fungsi berbagai institusi pemerintahan.
Inilah yang wujud formal suatu konstitusi yang di Indonesia di sebut juga undangundang
dasar (sebagai terjemahan dari apa yang diistilahi grondwet dalam bahasa
Belanda). Dalam aturan formal undang-undang dasar ini diaturlah macam dan batas
kewenangan yang diperlukan demi berlangsungnya kehidupan suatu komunitas politik
dalam skala dan formatnya yang nasional.
Manakala konstitusi tidak harus cuma dimengerti sebagai ketentuan
perundang-undangan dengan norma-norma deklaraturnya yang serba positif dan
normal itu saja, melainkan juga sebagai suatu hasil ekspresi suatu doktrin, maka akan
terkajilah di situ hadirnya suatu prinsip tentang pembebasan dan kebebasan manusia
yang tidak lagi berstatus sebagai kawula melainkan sebagai warga. Maka, konstitusi
adalah juga suatu ‘isme’, disebut ‘konstitusionalisme’, yang mengajarkan dengan
penuh keyakinan bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebaliknya.
Inilah ‘isme’ yang mengajarkan bahwa kebebasan itulah yang menjadi determinan
kewenangan, dan tidak sebaliknya, bahwa kewenangan itu yang menentukan
luas-sempitnya ruang kebebasan warga. Maka, membaca konstitusi itu orang tidaklah
cukup kalau hanya membaca apa yang tersurat saja. Alih-alih, orang tidaklah sekalikali
boleh mengabaikan ide dan ideologi yang tersirat di dalamnya.
Ide konstitusionalisme yang dijadikan tumpuan kehidupan bernegara dan
berhukum yang berstatus supreme di suatu kehidupan yang demokratik itu
sesungguhnya dapat dipulangkan ke esensi doktrinalnya yang berjumlah dua. Yang
pertama ialah, bahwa doktrin kebebasan sebagai hak manusia itu yang tak hanya asasi
akan tetapi juga kodrati, dan karena diyakini sebagai sesuatu yang kodrati itulah maka
hak-hak itu jelas-jelas kalau bukan seperangkat hak yang berasal dari pemberian para
penguasa. Karena itu pula hak-hak ini harus dibilangkan sebagai hak-hak yang –
seperti telah dikatakan di muka – bersifat inderogable dan inalienable, serta pula
harus selalu dijaga dan dipertahankan eksistensinya agar tetap in tact, utuh dan tak
bercacat cela karena terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Adapun esensi doktrinal
konstitusionalisme yang kedua ialah doktrin rule of law yang terpulang pokok pada
ide dasar kedudukan hukum yang tertinggi di antara norma apapun di dalam
kehidupan bernegara bangsa ini. Inilah doktrin yang sekalipun telah beriwayat sejak
abad 11-12 toh dalam perkembangannya di dalam kehidupan bernegara modern selalu
dihubung-hubungkan dengan model kehiduopan yang demokratik, dengan pengakuan
yang sine qua non akan adanya hak-hak asasi dan kodrati pada setiap manusia warga
negara.
.
Hak Warganegara Yang Asasi dan Konstitusional Untuk
Berkebebasan (Civil Rights) Dan Untuk Berpolitik (Political Rights)
Perjuangan hak-hak asasi manusia pada abad 18 -- yang berkemuncak dengan
pecahnya dua revolusi kerakyatan di Amerika dan di Perancis – itu berpusar di
seputar dua konsep hak. Yang pertama adalah hak manusia untuk berkebebasan
dalam status mereka yang baru sebagai warganegara (yang bukan lagi kawula raja),
dan yang kedua adalah hak manusia yang juga asasi untuk mengambil bagian dalam
setiap proses pengambilan keputusan politik. Itulah dua set hak-hak asasi yang
masing-masing sanmpaipun kini dikenal dengan sebutan hak-hak sipil (civil rights)
dan hak-hak politik (political rights). Bahwa kedua set hak asasi itu yang
mengedepan sepanjang pergulatan pemikiran dan perjuangan fisik pada masa itu
dapatlah dimengerti manakala diiingat bahwa sejak abad 12 para pemikir dan para
negarawan Barat membuka diri untuk mewacanakan hakikat dan/atau dasar-dasar
pembenar setiap kekuasaan yang harus diperhadapkan secara normatif ke rasio
indeterminisme manusia-manusia individu.
Hak sipil adalah hak seseorang warga (civil) untuk menikmati kebebasan
dalam berbagai hal, antara lain – sebagai contoh -- untuk bergerak pindah secara
bebas tanpa dibatasi oleh keputusan pemerintah, untuk dijamin kemerdekaannya dan
keselamatan dirinya (dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dan
dari penyiksaan-penyiksaan oleh aparat negara), atau pula untuk tidak dihukum tanpa
proses peradilan yang jujur dan tak memihak. Hak untuk berserikat (guna memperjoangkan
ide-ide politik) dan hak untuk mengeluarkan dan menyiarkan pendapat yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi secara penuh kritik setiap kebijakan dan
keputusan pemerintah, adalah dua dari sekian banayak contoh menegenai hak-hak
asasi manusia dalam kehidupan politik.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang diproklamasikan pada bulan Juli 1776
merupakan dokumen yang amat revolusioner menurut ukuran zamannya mengenai
kedua macam hak itu,, sekalipun ide yang terkandung di dalamnya itu bukanlah ide
yang muncul begitu saja secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi berbagai
ide dan ideologi sebelumnya tentang kebebasan manusia. Itulah dokumen yang berisi
cabaran untuk pertamakalinya terhadap doktrin abad pertengahan bahwa suatu kelas
teretentu dalam masyarakat memperoleh karunia dan pembenaran Illahi untuk
menguasai dan memerintah kelas-kelas lain yang awam. Pernyataan dalam deklarasi
tahun 1776 berikut ini benar-benar dengan tegas menolak doktrin seperti itu.
Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa ‘all men are created equal … and have
unalienable rights ….’, dan bahwa ‘to secure these rights, governments are instituted
… deriving their powers from the consent of the governed’.
Lepas sepuluh tahun setelah diproklamasikannya Deklarasi Kemerdekaan dari
tahun 1776 itu, Konstitusi Amerika ditandatangani di Philadelphia pada tahun 1787.
Inilah konstitusi suatu pemerintahan republik modern yang pertama di dunia, yang –
demi terjaganya kehidupan demokrasi dan hak asasi warganegara – memisahkan
kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga lembaga, sesuai dengan ajaran Trias Politica
de Montesquieu. Empat tahun kemudian, konstitusi itu diamandemen untuk
menyatakan adanya jaminan akan hak-hak manusia warganegara untuk berkebebasan
dalam ihwal berbicara dan memeluk agama yang diyakininya. Amandemen yang
diperkenalkan sebagai The American Bill of Rights dari tahun 1791 ini juga menjamin

kebebasan pers dan hak untuk memperoleh perlindungan dari penghukuman yang tak
lazim dan pula dari tindak penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh
aparat pemerintahan secara tidak sepatutnya.
Bersamaan sedarsawarsa dua dasawarsa dengan masa-masa revolusi pemerintahan
dan perundang-undangan yang relevan dengan persoalan hak-hak individu
warganegara di Amerika ini, pergolakan serupa pun – bahkan lebih berdarah-darah –
terjadi pula di benua Eropa. Kali ini di Perancis, suatu negeri tempat lahir dan
berkecambahnya pemikiran-pemikiran besar tentang hak-hak asasi manusia (yang
realisasinya justru lterjadi ebih dahulu di luar negeri ini, ialah di benua seberang
Samudera Atlantik yang bernama Amerika). Le peuple mengobarkan revolusi
kerakyatan yang meruntuhkan kekuasaan ancien regime dari dinasti Boubon, yang
segera setelah memproklamasikan La Declaration des Droits de l’Homme et du
Citoyen – yang “menduplikasi” cita-cita revolusi kemerdekaan Amerika juga
mencanangkan cita-cita kebebasan (liberte) dan persamaan hak (egalite) di antara
sesama manusia.
Konstitusi yang memberikan jaminan kebebasan dan hak-hak para citoyen ini
dijabarkan lebih lanjut ke dalam 3 kitab undang-undang yang diundangkan pada tahun
1804, yang terkenal kemudian dengan nama ‘Kodifikasi Napoleon’. Dalam Code
Penal dijamin perlindungan atas kebebasan manusia, ialah untuk tidak dibatalkan
kebebasannya itu, apapun perbuatan yang telah dilakukan olehnya, kecuali atas dasar
undang-undang yang telah ada sebelumnya. Code Civil menjamin kebebasan para
manusia warganegara untuk memiliki dan mengelola atau pula memindahtangankan
miliknya itu. Kalaupun satu setengah abad kemudian sebagian dari hak-hak semacam
itu dikonsepkan sebagai bagian dari hak-hak ekonomi yang asasi, pada masa itu --baik
di Amerika maupun di Perancis – hak-hak semacam itu lebih dimaknakan sebagai
hak-hak kebebasan individu warganegara yang harus dilindungi agar secara bebas
berleluasa to pursuit happiness.

Siapa Yang Pada Mulanya Harus Dikonsepkan Sebagai
‘Manusia Penyandang Hak Yang Asasi’ Itu?
Tak pelak lagi, hak-hak aasasi manusia pada konsepnya yang paling awal ini
adalah hak-hak rakyat dalam kedudukan mereka sebagai manusia warga negara yang
berkebebasan dalam suatu kehidupan bernegara bangsa yang demokratik. Akan tetapi
yang masih menjadi pertaanyaan setakat itu ialah, siapakah yang harus dibilangkan ke
dalam golongan manusia warga negara yang harus diakui mempunyai hak yang asasi
untuk berkekbebasan itu? Kalaupun sekarang ini pada asasnya dalam konsepnya
yang sekarang apa ini yang dibilangkan manusia itu adalah semua saja yang bersosok
biolotgik sebagai manusia, akan tetapi pada awalnya yang diakui sebagai manusia
pengemban hak yang asasi itu barulah mereka yang di dalam kehidupan bernegara
dan berbangsa berstatus warganegara saja, dan mereka ini hanyalah yang berjenis
kelamin lelaki saja. Deklarasi Perancis dari tahun 1789 berbunyi Declaration des
droits de l’lhomme et ..., dan kata l’homme dalam bahasa Perancis itu secara harafiah
akan juga berarti ‘manusia lelaki’.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dari tahun 1776 pun menggunakan sebutan
jender lelaki (men) dalam berbagai frase pernyataannya. Dinyatakan di situ antara

lain bahwa “… all men are created equal..” dan bahwa demi terjaminnya hak-haknya
yang asasi maka “…. Government are instituted among Men …”. Sekalipun pada
masa itu isteri John Adams, seorang anggota Kongres yang kemudian menjadi
Presiden Amerika yang ke-2, sudah merasa perlu untuk menitipkan pesan kepada
suaminya agar para anggota Kongres, yang tengah menyiapkan konstitusi Amerika
sukalah selalu “.. remember the ladies ..”, namun kepentingan dan minat kaum
perempuan untuk ikut berpolitik, dan memperoleh jaminan hak-hak politiknya yang
asasi di bidang ini sebagai warga negara, tidaklah pada masa itu serta merta memperoleh
perhatian.
Maka di sini – baik dalam Deklarasi Amerika maupun dalam Deklarasi
Perancis -- kalaupun perempuan-perempuan itu secara biologik harus disebut pula
dibilangkan sebagai manusia, menurut konsep yang awal ini mereka itu tidaklah
hendak disebut dan digolongkan sebagai manusia warga negara. Perempuanperempauan
adalah makhluk domestik, sedangkan hak-hak yang diakukan kepada
manusia adalah hak-hak dalam kehidupan publik yang hanya diakukan kepada mereka
yang lelaki saja. Digolongkan sebagai makhluk domestik dan tidak sepatutnya secara
lancang berperan di ranah publik, perempuan-perempuan pada masa-masa awal itu
tidaklah memperoleh pengakuan atas hak-hak politik mereka. Mereka tidak disertakan
dalam kehidupan publik untuk memilih dan dipilih, dan sehubungan dengan hal
itu merekapun pada masa-masa awal pertumbuhan konsep hak-hak asasi manusia
itupun, di pihak lain, juga tidak dibebani kewajiban untuk membayar pajak..
Karena hak-hak asasi manusia pada awal pertumbuhannya itu dikonsepkan
sebagai hak manusia yang berkualifikasi sebagai warga dalam kehidupan bernegara
bangsa, maka konsekuensinya ialah, bahwa sesiapapun yang warga dalam kehidupan
bernegara bangsa dan berpolitik itu mesti berkewajiban pula membayar pajak guna
menjamin tersedianya dana publik yang cukup untuk kepentingan bersama. Di sinilah
letak alasannya mengapa perempuan yang makhluk domestik itu tidaklah dipandang
perlu untuk memperoleh jaminan hak-hak yang asasi bagi kehidpan publik yang nondomestik.
Hak-hak (dan kewajiban) perempuan dikembalikan ke berbagai askripsi
yang melekat secara normatif pada peran-peran tradisional mereka, yang lebih bersifat
privat-domestik yang patriarkik daripada bersifat publik yang demokratik. Dengan
ungkapan Eropa, askripsi perempuan hanyalah untuk mengurusi ‘Kinder und Küche,
dan -- manakala perempuan-perempuan ini ingin keluar dari ranah domestik di luar
askripsi itu -- tempat yang paling tepat bagi mereka hanyalah ke gereja atau biara,
atau … ke bordil.
Demikian juga halnya dengan mereka – baik yang perempuan maupun yang
lelaki – yang berstatus budak-budak dan ulur-ulur yang karena itu tidak terbilang
sebagai freeman. Maka, mengingat kenyataan bahwa orang-orang kulit berwarna
pada masa itu tak ada yang berstatus sebagai freemen melainkan boleh dibilang
semuanya adalah budak-budak, pada akhirnya mereka yang terbilang manusia
pengemban hak-hak asasi itu tidaklah kurang dan tidaklah lebih hanyalah mereka
yang lelaki dan berkulit putih saja. Perubahan-perubahan untuk memperluas konsep
manusia penyandang hak-hak yang asasi, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah
perkembangan hak-hak asasi di Amerika, barulah terjadi lebih dari setengah sampai
seabad kemudian. Di Amerika perubahan konsep mengenai siapa yang harus
dibilangkan ke dalam golongan manusia pengemban hak yang asasi dilakukan dengan
melakukan amandemen-amandemen pada konstitusinya. Inilah amandemen11
amandemen yang melepaskan golongan masyarakat tertentu dari askripsi-askripsi
mereka yang kuno dan berefek mengucilkan, ialah para budak yang semula terkurung
dalam institusi pertuanan dan kaum perempuan yang semula tertambat dalam
ranahnya yang domestik dan patriarkik.

Konsep Hak Asasi Manusia Sebagai Konsep Emansipatif Dalam Kehidupan
Sosial-Politik
Hak-hak asasi manusia pada generasinya yang pertama sepanjang belahan
pertama abad 19 memang mula-mula dikonsepkan untuk lebih menonjolkan hak-hak
manusia individual yang lelaki dalam status mereka sebagai warganegara (civil rights)
di dalam kehidupan politik, yang mengisyaratkan pengakuan akan political rights
mereka. Kalaupun pada awalnya konsep seperti itu boleh disebut lebih bersifat
segregatif daripada diskriminatif, sudah pada pertengahan abad 19 – sekira setengah
abad setelah diundangkannya Bill of Rights Amerika (1791) dan Droits de l’Homme et
du Citoyen Perancis (1789) – konsep ‘manusia penyandang hak’ diakukan juga
kepada mereka yang selama ini tidak terbilang sebagai freeman. Mereka ini adalah
budak-budak ataun ulur-ulur yang tidak free dan mereka yang perempuan yang
sekalipun berstatus free akan tetapi tidak tergolong men.
Maka manakala deklarasi-deklarasi dari tahun-tahun 1770-1780an di negerinegeri
bertradisi Barat itu boleh disebut sebagai deklarasi-deklarasi yang liberating
menuruti konsep kaum liberal (yang mendambakan pembebasan manusia dari segala
bentuk kekuasaan otokratik), deklarasi dari tahun 1850-1860an bolehlah disebut
sebagai deklarasi-deklarasi yang emancipating (yang berkebijakan untuk melepaskan
sebagian penduduk negeri dari statusnya yang terdiskriminasi ke statusnya yang baru
sebagai homo Equalis (alias manusia berkesetaraan). Pada tahun-tahun itu kebijakan
abolisi yang bermaksud membebaskan jutaan manusia dari rantai perbudakan diperjuangkan,
sekalipun – seperti misalnya di Amerika, dengan amandemen konstitusinya
yang ke-13 pada tahun 1863 – kebijakan seperti itu sampai-sampai dipandang
terlampau jauh dan tidak hanya mengundang perlawanan politik negara-negara bagian
selatan melainkan juga mengundang datangnya perang saudara.
Kebijakan nasional untuk memberikan kesempatan manusia-manusia
perempuan untuk juga menikmati hak-hak yang asasi sebagai warga negara berikut
hak-hak politik mereka berlangsung melalui berakan-gerakan sosial-politik yang
memakan waktu lebih lama. Mengemansipasikan perempuan dari ikatan-ikatan
domestik yang askriptif rupanya memerlukan rentang waktu yang lebih lama.
Agaknya karena prosesnya lebih menuntut karakter yang lebih bersifat transformatif
daripada transplantatif. Keberhasilannya tidak hanya diprasyarati oleh lahirnya
prakarsa-prakarsa para elit yang memegang kontrol politik di berbagai institusi
pemerintahan, melainkan juga harus “menunggu” terbebaskannya perempuanperempuan
itu dari tugas-tugas domestik, khususnya tugas reproduksi. Tatkala
teknologi reproduksi yang mampu membantu pengendalian kelahiran berhasil
diciptakan, dan sementara itu -- dengan mengatasi keberatan moral dan kultural --
bisa diterima khalayak ramai, proses emansipasi yang memungkinkan perempuanperempuan
mengefektifkan hak-haknya yang asasi sebagai warga negara, dan pula
untuk merealisasi hak-hak politiknya di ranah publik, dengan segera menjadi
kenyataan.

Akan tetapi tidaklah itu berarti bahwa upaya untuk memperjuangkan
terealisasinya hak-hak politik oleh kaum perempuan di negeri yang dibangun sebagai
suatu Republik yang demokratik itu tidak signifikan. Pada tahun 1848 pergerakan
perempuan di negeri itu melantangkan suatu pernyataan publik yang dikenal dengan
penamaan Declaration of Sentiments. Dinyatakan di dalam deklarasi itu, antara lain,
bahwa kaum perempuan sepakat untuk ‘hold the truths to be self-evident that all men
and women are created equal, that they are endowed by their Creator with certain
inalienable rights, that among these are life, liberty and the pursuit of happiness …’,
dan seterusnya, yang – manakala diperhatikan dengan baik-baik – pernyataan itu
mengulang saja frase-frase yang telah ada sebelumnya dalam Declaration of Independence
70 tahun sebelumnya.
Hak perempuan untuk dibilangkan sebagai warga negara dalam kehidupan
politik diperlambangkan dalam wujud kemenangannya – atas dasar hak-hak
konstitusionalnya – untuk ikut memberikan suara dalam pemilihan umum. Jaminan
konstitusional ini baru diperoleh pada tahun 1920 dengan dimasukkannya amandemen
ke-19 di dalam konstitusi Amerika Serikat, sekalipun rancangan amandemen itu
sebenarnya telah selesai dipersiapkan pada tahun 1878. Sebelum tahun itu, persoalan
berhak tidaknya perempuan-perempuan ikut memberikan suara dalam pemilihan
umum diserahkan sebagai kewenangan negara bagian. Tetapi, nyatanya setiap negara
bagian itu sejak diproklamasikannya kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 –
kecuali negara bagian New Jersey (sekalipun cuma beberapa tahun saja) – selalu
menolak pemberian hak suara itu kepada warganegara yang perempuan. Dengan
disahkannya amandemen ke-19 dalam konstitusi Amerika pada tahun 1920 itu,
terputuskanlah sudah kontroversi mengenai hak-hak perempuan untuk ikut berpolitik
dalam setiap pemilihan umum.
Di negeri-negeri Eropa Barat, keputusan konstitusional menenai hak politik
perempuan untuk ikut memilih dan dipilih pada umumnya juga terjadi pada sekitar
tahun-tahun 1920 itu juga. Sekalipun amat terlambat tetapi pada akhirnya terjadi
jugalah perluasan konsep mengenai siapa saja yang seharusnya dibilangkan sebagai
manusia pengemban hak yang asasi: hak untuk berpolitik, tidak hanya untuk para
lelaki akan tetapi juga untuk mereka yang perempuan. Berseiring dengan apa yang
terjadi di Eropa ini, pada dasawarsa-dasawarsa yang sama itu juga penggerakan dan
pergerakan untuk memberikan pengakuan hak-hak yang asasi kepada perempuan
terjadi juga di negeri-negeri jajahan. Di Indonesia, pada dsasawarsa-dasawarsa itu
pemerintah kolonial telah memanfaatkan situasi yang telah kondusif itu untuk juga
memajukan keterpelajaran perempuan-perempuan pribumi dengan membuka
sekolahan-sekolahan untuk anak-anak perempuan. Di Indonesia pula, nama Raden
Ajeng Kartini dan Dewi Sartika dikenal dan diperkenalkan pada dasawarsa-dasawarsa
itu juga, justru oleh pemerintah kolonial [***]

No comments:

Post a Comment